Pemerintah Indonesia berkomitmen membagikan proteksi hukum terhadap merk populer. Komitmen itu ialah asumsi pemerintah atas banyaknya sengketa merk yang spesialnya mengaitkan merek- merek populer yang hingga ke Majelis hukum Niaga.

Komitmen pemerintah dalam melindungi merk populer sudah diatur dalam Undang- Undang Nomor. 20 tahun 2016 tentang Merek

serta Gejala Geografis( UU Merk).

“ Dalam UU tersebut secara tegas mengatakan kalau sesuatu permohonan registrasi merk hendak ditolak bila merk tersebut memiliki persamaan pada pokoknya ataupun keseluruhannya dengan merk populer kepunyaan pihak lain buat benda serta/ ataupun jasa sejenis; ataupun merk populer kepunyaan pihak lain buat benda serta/ ataupun jasa tidak sejenis yang penuhi persyaratan tertentu. Ini merupakan ialah fakta kalau rezim hukum merk di Indonesia melindungi merk populer,” ujar

Konsultan Komersialisasi Kekayaan Intelektual serta mantan Dirjen HKI, KemenKumHAM,

Andy N. Sommeng, dalam siaran pers, Kamis( 1/ 4) Hak Merek .

Berikutnya, guna menunjang proteksi atas merk populer, pemerintah pula sudah membuat kriteria merk populer dengan menerbitkan Peraturan Menteri Hukum serta Hak Asasi Manusia No 67 Tahun 2016 tentang Registrasi Merk Populer( Permenkumham 67/ 2016) yang mengadopsi syarat internasional World Intellectual Property Organizations/ WIPO).

Baca Pula: Begini akhir kasasi sengketa merk Eiger…

Andy menarangkan, bersumber pada Permenkumham 67/ 2016, kriteria merk populer itu antara lain dengan mencermati pengetahuan universal warga menimpa merk tersebut di bidang usaha yang bersangkutan, volume penjualan benda serta ataupun jasa, pangsa pasar yang dipahami, durasi pemakaian merk, registrasi merk di banyak negeri dan keberhasilan penegakan hukum di bidang merk.

“ Kriteria itu jadi pegangan pemeriksa merk serta aparat penegak hukum dalam memastikan apakah merk itu merk populer ataupun tidak populer,” papar Andy. Lebih lanjut Andy menegaskan alibi kenapa dibutuhkan proteksi terhadap merk populer.

Baginya, merk merupakan asset intangible yang tidak ternilai biayanya untuk sesuatu perusaahan. Merk ialah kaca reputasi sesuatu benda yang dibuat ataupun jasa yang ditawarkan oleh industri. Hingga, lanjutnya, reputasi ataupun citra suatu merk hendak pengaruhi kegiatan pemasaran. Reputasi itu diyakini

oleh owner merk populer hendak sanggup pengaruhi anggapan pelanggan tentang produk yang ditawarkan kepada konsumen.

Aspek persaingan curang

Praktisi HK, Suyud Margono berkata, konsep proteksi atas merk populer tidak sepatutnya diterapkan buat merk sekunder( secondary brand). Merek

sekunder ini umumnya diketahui pula selaku nama varian( variant name) ataupun merk dagang yang ialah sesuatu kalimat ataupun sebutan yang deskriptif.

Bagi Suyud yang pula selaku Pimpinan Universal AKHKI( Asosiasi Konsultan HKI Indonesia)“ Sebutan deskriptif itu kadanng cuma bertujuan buat menarangkan guna dari produk serta bukan ialah elemen utama dari kesatuan merk tersebut, tetapi diajukan selaku merk yang sebetulnya ialah extension dari brand yang telah diketahui.

Baca Pula: Merk Bensu jadi rebutan, ini kata Ditjen HKI

“ Kalimat/ sebutan deskriptif memiliki perkata yang universal digunakan tiap hari( generic words) oleh konsumen serta pula pelakon usaha,” Ia menarangkan, klaim merk populer atas secondary brand yang bertabiat deskriptif ataupun generic words berpotensi negatif dan

bisa memunculkan serta persaingan curang( unfair business practices) antar sesama pelakon usaha( competitor bisnis).

Karena, pada praktiknya, owner merk yang lain hendak terhambat serta kesusahan buat mempunyai ruang gerak serta kreatifitas apabila secondary brand/ merk sekunder yang bertabiat deskriptif ataupun generic words.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *